Menjaga Iman di Era Digital

Pemaparan Materi oleh Aabidah Ummu ‘Aziizah, S.Pd.I., M.Pd., pada Tabligh Akbar (Foto. Panitia Tabligh Akbar)
Pada Minggu, 13 Juli 2025, suasana di Aula Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan (UAD) terasa berbeda dari biasanya. Deretan mahasiswa dari berbagai jurusan tampak antusias mengikuti kegiatan Tablig Akbar kolaboratif yang diadakan oleh Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dari berbagai bidang studi, seperti PBSI, PBI, PPKn (PB2), BK PGSD, PG PAUD (BPP), serta IMM Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM). Bertajuk “Menjaga Iman, Merawat Kesehatan, dan Menggapai Ilmu”, kegiatan ini mengusung semangat refleksi spiritual dan intelektual di tengah tantangan era digital.
Tablig Akbar ini menghadirkan pemateri inspiratif, Ustazah Aabidah Ummu ‘Aziizah, S.Pd.I., M.Pd., yang membuka diskusi dengan analogi sederhana namun mengena: “Menjaga iman itu seperti menjaga HP, ketika hilang sedikit saja, kita akan merasa cemas.” Sebuah perumpamaan yang menggambarkan betapa pentingnya iman dalam kehidupan manusia modern yang sangat tergantung pada teknologi.
Dalam paparannya, Ustazah Aabidah menjelaskan bahwa untuk meraih ilmu secara optimal, seseorang harus menjaga kesehatannya, baik jasmani maupun rohani, karena kesehatan menjadi jembatan penting bagi manusia untuk menerima dan mengolah ilmu dengan baik. Ustazah Aabidah mengajak mahasiswa untuk menyadari betapa seriusnya ancaman ketergantungan teknologi terhadap kehidupan spiritual dan kesehatan mental. Ketergantungan ini bukan sekadar kebiasaan buruk, tetapi menciptakan efek psikologis mendalam seperti overstimulasi dopamin, di mana otak menjadi kecanduan sensasi instan dari media sosial dan game sehingga kesulitan merasakan kebahagiaan alami.
Hal ini diperparah oleh ilusi koneksi, di mana seseorang merasa terhubung secara sosial lewat dunia digital, padahal sebenarnya mengalami kesepian eksistensial. Di saat yang sama, perbandingan sosial yang terus-menerus di media sosial memicu krisis identitas dan harga diri, membuat manusia kehilangan keaslian diri karena terus-menerus mencerminkan kehidupan orang lain.
Ketergantungan ini juga menyebabkan pecahnya fokus (attention fragmentation) akibat notifikasi yang tak henti hingga akhirnya membuat kita hidup di permukaan kesadaran, tidak lagi hadir secara utuh dalam hidup sehari-hari. Puncaknya adalah munculnya kekosongan makna (existential void), di mana hidup hanya dipenuhi rutinitas scrolling tanpa tujuan, yang menjauhkan manusia dari nilai-nilai spiritual, produktivitas, dan makna hidup itu sendiri. Semua ini membentuk satu pola besar: teknologi telah menjadi musuh diam yang menggerus iman, menurunkan kesehatan jiwa, dan menghalangi pencapaian ilmu yang hakiki.
Tak hanya memetakan masalah, Tablig Akbar ini juga menawarkan jalan keluar yang rasional dan spiritual. Data empiris menunjukkan bahwa tingkat religiusitas yang tinggi berkorelasi dengan kesehatan mental yang lebih baik. Nilai-nilai spiritual terbukti menjadi mekanisme coping yang efektif dan pembatas alami dalam penggunaan teknologi. Komunitas religius, seperti IMM, diyakini mampu memberikan dukungan sosial dan ruang untuk pertumbuhan pribadi yang sehat. Inilah esensi dari tema acara: menjaga iman untuk merawat kesehatan, dan dari situ, terbukalah jalan menuju pencapaian ilmu yang berkah.
Sebagai penutup, Ustazah Aabidah mengangkat kisah Imam Al-Ghazali, seorang tokoh besar dalam sejarah Islam yang mengalami krisis spiritual di usia produktifnya—yang kini dikenal dengan istilah quarter life crisis. Ia berani meninggalkan segala gelar dan popularitas demi menemukan kebenaran sejati. Pilihan ini mungkin dianggap aneh oleh orang lain, tetapi menjadi titik balik dalam perjalanan hidup dan keilmuannya.
Kisah ini menjadi inspirasi bahwa pencarian makna, keberanian mengambil keputusan besar, serta menjaga iman bukanlah proses yang mudah, tetapi akan membawa seseorang menuju versi terbaik dari dirinya.
Kegiatan Tablig Akbar ini menjadi oase spiritual di tengah padatnya aktivitas akademik dan tekanan digital. Melalui kolaborasi antarlembaga IMM dan bimbingan pemateri yang mendalam, para mahasiswa UAD tidak hanya diajak berpikir, tetapi juga merasa dan merenung, bahwa menjaga iman, merawat kesehatan, dan menuntut ilmu bukanlah tiga hal terpisah, melainkan satu kesatuan tak terpisahkan dalam membentuk pribadi utuh di era modern ini. (Tifa)