Literasi Digital dalam Penyiaran: Transformasi dari Masa ke Masa
Kegiatan dengan tajuk “Meningkatkan Literasi Media dan Standar Penyiaran dalam Komunikasi Digital” diselenggarakan oleh Fakultas Sastra, Budaya, dan Komunikasi (FSBK) Universitas Ahmad Dahlan (UAD). Seminar broadcasting atau penyiaran itu berlangsung pada Rabu, 6 November 2024, di Auditorium Museum Muhammadiyah, Yogyakarta. Salah satu pemateri yaitu Rendra Widyatama, S.IP., M.Si., Ph.D., yang merupakan dosen Program Studi Ilmu Komunikasi FSBK UAD. Ia menyampaikan topik terkait literasi digital dalam penyiaran.
Penyiaran di Indonesia telah mengalami banyak perubahan signifikan seiring dengan perkembangan zaman, mulai dari era Orde Baru, masa reformasi, hingga era digital yang penuh tantangan. Pada masa Orde Baru, televisi di Indonesia hanya dikuasai oleh keluarga Soeharto dan pemerintah, yang mengontrol hampir seluruh media penyiaran. Seluruh stasiun televisi yang ada berfungsi sebagai alat propaganda politik untuk mendukung kekuasaan Orde Baru. Konten yang disiarkan sangat terbatas, hanya menampilkan hal-hal yang dianggap mendukung stabilitas politik.
Setelah jatuhnya rezim Orde Baru, Indonesia memasuki masa reformasi pada 1998, yang membuka jalan bagi kebebasan pers dan penyiaran yang lebih terbuka. Salah satu hasil signifikan dari era ini adalah munculnya TVMU, sebuah stasiun televisi yang dikembangkan kini oleh UAD di Yogyakarta. TVMU menjadi simbol kebebasan dan inovasi dalam dunia penyiaran, yang terus berkembang hingga kini sebagai salah satu media pendidikan yang mengedepankan pemberdayaan masyarakat.
Masuk ke era digital, penyiaran Indonesia mulai beradaptasi dengan teknologi baru. Siaran digital diperkenalkan sebagai langkah efisiensi penggunaan frekuensi dan untuk meningkatkan kualitas siaran. Selain itu, kemunculan platform streaming seperti YouTube, Netflix, dan layanan video-on-demand lainnya menambah persaingan bagi stasiun televisi konvensional. Kini, interaktivitas menjadi bagian tak terpisahkan dari penyiaran, di mana audiens tidak hanya menjadi penonton, tetapi juga bisa memberikan komentar dan berpartisipasi langsung melalui media sosial.
Akan tetapi, era digital juga membawa tantangan baru. Pola komunikasi berubah menjadi many-to-many, di mana siapa saja dapat menyebarkan informasi kepada publik. Hal ini berpotensi meningkatkan penyebaran hoaks dan informasi yang tidak terverifikasi. Selain itu, dengan sistem multipartai yang ada, munculnya media partisan yang dipengaruhi oleh kepentingan politik semakin memperkeruh suasana penyiaran di Indonesia.
Kepemilikan stasiun televisi kini sering kali terhubung dengan kepentingan ekonomi dan politik. Pemilik media cenderung mendominasi opini publik untuk keuntungan politik atau bisnis. Dalam hal ini, praktik kepemilikan media sering kali tidak mengikuti aturan yang ada, tetapi justru aturan disesuaikan dengan kepentingan pemodal. Fenomena tersebut semakin menegaskan adanya kolaborasi antara penyiaran, partai politik, dan penguasa untuk mengontrol informasi yang sampai kepada publik.
Menghadapi semua tantangan ini, peningkatan literasi digital menjadi sangat penting. Pendidikan dan pelatihan digital harus diperkuat, terutama untuk memastikan masyarakat dapat memahami cara mengakses, memverifikasi, dan mengolah informasi dengan bijak. Selain itu, menyediakan akses internet yang stabil dan terjangkau, kampanye kesadaran digital, serta kolaborasi antar semua pihak sangat dibutuhkan untuk menciptakan masyarakat yang lebih melek digital dan mampu menghadapi dinamika media modern dengan lebih kritis. (Dilla)