Mahasiswa KKN UAD Sosialisasikan Pencegahan Pernikahan Dini di Dusun Kenteng
Mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) Reguler 127 Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Unit III.B.3 menggelar sosialisasi di Dusun Kenteng, Kelurahan Kembang, Kecamatan Nanggulan, Kabupaten Kulon Progo. Acara ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai dampak buruk pernikahan dini, terutama terkait risiko stunting pada anak serta dampak psikologis yang dihadapi oleh remaja yang menikah di bawah usia 21 tahun.
Sosialisasi dipimpin oleh dosen UAD Vera Avanti, S.Pd., M.Pd. yang memaparkan dampak kesehatan serius akibat pernikahan dini. Menurut Vera, remaja yang menikah di bawah usia 21 tahun masih memerlukan asupan gizi optimal untuk pertumbuhan tubuh mereka. “Jika mereka hamil di usia kurang dari 19 tahun, tubuh ibu akan bersaing dengan janin yang dikandungnya untuk mendapatkan nutrisi. Hal ini sering kali menyebabkan bayi lahir dengan berat badan rendah dan berisiko tinggi terkena stunting,” jelasnya.
Lebih lanjut, Vera menjelaskan bahwa stunting, atau kondisi gagal tumbuh akibat kurangnya asupan gizi dalam 1.000 hari pertama kehidupan, dapat menghambat perkembangan fisik dan otak anak. “Stunting tidak hanya memengaruhi tinggi badan, tetapi juga kemampuan belajar dan kecerdasan anak di masa depan,” tambahnya.
Ia pun menekankan bahwa organ reproduksi perempuan di bawah usia 18 tahun belum matang sepenuhnya, sehingga meningkatkan risiko komplikasi kehamilan, termasuk keguguran dan gangguan perkembangan janin. Oleh karena itu, menunda pernikahan hingga usia 21 tahun atau lebih sangat dianjurkan.
Pada sesi kedua, Laila, mahasiswa UAD yang turut serta dalam sosialisasi, membahas dampak psikologis yang sering kali dialami oleh remaja yang menikah di usia muda. Menurutnya, pernikahan dini tidak hanya berdampak pada kesehatan fisik, tetapi juga menimbulkan berbagai masalah psikologis serius. “Remaja yang menikah di usia muda sering kali merasa tertekan karena harus menghadapi tanggung jawab besar sebelum mereka siap secara mental. Hal ini dapat berujung pada depresi, yang ditandai dengan perasaan sedih berkepanjangan, hilangnya minat terhadap aktivitas, serta gangguan tidur dan nafsu makan,” ungkapnya.
Selain depresi, Laila juga menjelaskan bahwa kecemasan berlebihan sering dialami oleh remaja yang menikah dini. Kecemasan ini dipicu oleh ketidakpastian masa depan dan ketakutan akan ketidakmampuan menghadapi tantangan pernikahan.
“Gejala kecemasan meliputi perasaan gelisah, kesulitan berkonsentrasi, insomnia, dan sering kali disertai gejala fisik seperti sakit kepala atau nyeri yang tidak jelas penyebabnya,” jelas Laila. Ia juga menyoroti risiko gangguan bipolar yang bisa muncul pada remaja yang terpaksa menikah di usia muda, yang ditandai dengan perubahan suasana hati yang ekstrem dan berdampak negatif pada hubungan mereka dengan pasangan dan keluarga.
Melalui sosialisasi ini, masyarakat di Dusun Kenteng diharapkan dapat lebih memahami bahaya pernikahan dini dari berbagai aspek, baik fisik maupun psikologis. Kegiatan tersebut juga diharapkan dapat mendorong masyarakat untuk lebih aktif mendukung remaja agar menunda pernikahan hingga usia yang lebih matang, minimal 21 tahun. Dengan demikian, diharapkan angka pernikahan dini di Indonesia dapat ditekan, serta meningkatkan kualitas hidup generasi muda yang lebih sehat. (doc)