Langkah Nyata Mencegah Perundungan di Lingkungan Sekolah

Sosialisasi dan Deklarasi Anti-Bullying oleh Mahasiswa UAD yang Mengikuti Kampus Mengajar (Dok. Ribhia)
Bullying atau perundungan di lingkungan sekolah bukan sekadar isu sepele yang bisa diabaikan. Dampaknya dapat menghancurkan kepercayaan diri, merusak kesehatan mental, dan bahkan mengganggu perkembangan sosial anak. Oleh karena itu, langkah-langkah konkret untuk menghapus budaya perundungan menjadi sangat penting, seperti yang dilakukan dalam kegiatan sosialisasi dan deklarasi anti-bullying di SMP Muhammadiyah Pleret.
Acara ini bukan sekadar seremoni, melainkan sebuah perwujudan nyata dari upaya bersama antara program Kampus Mengajar 8 dan Komunitas Sahabat Jogja Anti Bullying. Dengan menghadirkan para ahli di bidang pendidikan dan psikologi sosial, seperti Prof. Dr. Farida Hanum, M.Si. dan Dr. Ariefa Efianingrum, M.Si., kegiatan ini memberikan pemahaman mendalam tentang betapa seriusnya dampak perundungan serta bagaimana cara mencegahnya.
Salah satu poin penting yang disampaikan dalam kegiatan ini adalah bahwa perundungan bukanlah kenakalan biasa. Prof. Farida Hanum menegaskan bahwa perundungan bisa menyebabkan trauma berkepanjangan, yang berdampak pada kesehatan mental siswa. Sementara itu, Dr. Ariefa Efianingrum menekankan pentingnya empati dan keberanian untuk bersuara ketika melihat tindakan perundungan terjadi.
Akan tetapi, apakah sosialisasi semacam ini cukup untuk menghentikan perundungan? Tentu tidak. Penting untuk memahami bahwa langkah ini hanyalah permulaan. Komitmen nyata dari seluruh elemen sekolah siswa, guru, dan tenaga kependidikan dibutuhkan agar kebijakan anti-bullying dapat berjalan efektif. Deklarasi anti-bullying yang diikrarkan dalam kegiatan ini adalah bentuk komitmen awal yang perlu terus diperkuat dengan kebijakan konkret, seperti pengawasan yang lebih ketat, program konseling, serta pendekatan berbasis nilai-nilai kemanusiaan di dalam kelas.
Keberhasilan acara ini juga menegaskan bahwa kolaborasi adalah kunci. Institusi pendidikan tidak bisa berdiri sendiri dalam menangani perundungan. Sinergi antara akademisi, komunitas, dan sekolah harus terus dikembangkan agar tercipta lingkungan yang benar-benar aman bagi peserta didik. Kampus Mengajar 8 dan Komunitas Sahabat Jogja Anti Bullying telah menunjukkan bahwa ketika berbagai pihak bersatu, perubahan nyata dapat dimulai.
Harapannya, inisiatif seperti ini tidak berhenti di SMP Muhammadiyah Pleret saja, tetapi bisa menjadi inspirasi bagi sekolah-sekolah lain untuk lebih aktif dalam membangun budaya anti-bullying. Karena sejatinya, pendidikan bukan hanya tentang akademik, tetapi juga membentuk karakter dan nilai kemanusiaan yang luhur. Sekolah yang aman adalah hak setiap anak, dan sudah saatnya kita semua berperan untuk mewujudkannya. (Ribhia/din)